SANTRI GAUL
Tweet |
itu seperti hal nya dengan kita sebagai santri ,ketika kita masuk pesantren untuk di cetak sebgai kader penerus isalm akan datang ,maka setelah keluar dari pesantren kita pun harus keluar seperti cetakan sebelumya yaitu kader isalm akan datang.
Memang benar, remaja sangat antusias terhadap adanya hal yang baru. Gaya hidup hura-hura sangat menarik bagi mereka. Daya pikatnya sangat luar biasa, sehingga dalam waktu singkat munculah fenomena baru akibat paham ini. Ada kecenderungan untuk lebih memilih hidup enak, mewah, dan serba kecukupan tanpa harus bekerja keras.
Sebelumya kita harus tau dulu pa itu santri dan gaul
SANTRI
adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok pesantren. Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan umum yang persentasi ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam. Kebanyakan muridnya tinggal di asrama yang disediakan di sekolah itu. Pondok Pesantren banyak berkembang di pulau Jawa.
GAUL
Katanya, remaja yang gaul itu adalah remaja yang gak bakal pernah ketinggalan dengan yang namanya tren masa kini. Apakah itu fashion, mode rambut, handphone bahkan masalah apa yang dibaca, ditonton dan dimakanpun bisa jadi pertimbangan status anak yang gaul.

Saat ini istilah gaul identik dengan fashion and shopping. Padahal sebenarnya tidak demikian. Remaja gaul adalah remaja yang punya identitas dan bisa bersikap serta berprilaku sesuai dengan situasi dan kondisi.
Demikian halnya juga dengan intelektualitas yang dimiliki remaja, remaja bisa dikatakan gaul jika remaja tersebut pintar dalam hampir segala bidang, misalnya pintar dalam mata pelajaran, pintar bergaul, pintar bersikap dan menghargai orang lain serta tidak membuang-buang waktu hanya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat.
Hal yang tidak bermanfaat misalnya nongkrong-nongkrong bersama teman-teman mereka sore atau malam hari, atau menggunakan narkoba. Remaja sekarang rentan sekali terpengaruh dengan kondisi dan lingkungan di mana remaja tersebut berada. Lingkungan yang baik akan menjadikan remaja itu baik dan lingkungan yang tidak baik akan menjadikan remaja itu tidak baik pula.
Jadi, remaja gaul itu bukan remaja yang menghabiskan waktu berhura-hura dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Remaja gaul adalah remaja yang mampu mempergunakan waktu untuk hal-hal yang bermanfaat baik untuk dirinya maupun untuk orang lain.
Panggilan Santri Pondok X artinya ia pernah/lulus dari Pondok Pesantren X. Panggilan Santri Kyai KH artinya ia pernah diajar oleh Kyai KH. Umumnya, sebutan santri Kyai juga berarti ia pernah menjadi anak asuh, anak didik, kadang-kadang mengabdi (biasanya di rumah kediaman) kyai yang bersangkutan.
sebuah nama santri gaul sering kali terdengari di pesantren- pesantern modern,jarang aku melihat keluaran pesantren tradisional berpakaian gaul atau apalahhh kebanyakan setelah mereka keluar di pesantern pakaian mereka identik dengan pakaian islami seperti hal nya seorang santri,dan mereka kebanyakan ber propesi atau bercita2 menjadi seorang ustad,kia'i ,berbeda halnya dengan anak -anak santri di pesantren moderend setelah mereka keluar dari pesantren mereka lebih identik dengan pakaian -pakaian gaul seperti anak muda yang tak berpendidikan ''seolah olah mereka tak mau ketingglan tren zaman ,itu semua terjadi karena kebanyakan pesantern moderen mendidik santrinya dengan cara moderen dantak perlu memepertegas nilai keislamianya ,merka lebih baik membangun gedung 2 atau bisa dikatakan tempat mereka sekolah seperti kelas yang besar dan mewah dengan pasisilitas tehnologinya yang canggih dan lab lab yang serba moderen bangunan bangunan pendidikan dan lain lain ,dari pada membangun sebuah masjid yang besar dan mewah padahal kita tau bahwa seorang santri itu atau sebuah pesantern itu tak bisa dipisahkan dengan yang namanya mesjid!!!atau yang lebih umumnya lagi ,,,kaka kelas saya yang telah belajar ke amerika dengan beasiswa nya itu berkata bawha yang namanya pesantren tak luput dari kia;i dan kitab kuning dan mesjid yang selalu memjumpainya setiap harinya . ya kalau semua itu tak ada maka periksalah kedokter atau puskesmas terdekat."ujar seorang kaka kelas tersebut
+baru ku sadari ternyata ku telah masuk kedalam mayoritas santri yang begitu edan.mereka selalu menyebutnya denagn kata gaul ::: klau orang bandung bilang aink santri gaul...hehe luchu jugx"
gaul sihk boleh gaul apalagi bagi seorang santri yang setiap harinya di kurung di penjara suci ++ gaul itu perlu sekali gaul dalam bentuk mengenal perkembangan zaman sekarang .remaja sekang dan banyk lagi .tp kenyataan di hari ini kata gaul itu jauh di luar dugaan .
mereka lebih suka menghapal teks lagu 2 barat dari pada menghapal ayat alquran .bahkan mereka melemahkan musik musik isalm dan membangkitkan musik musik rock atau metal di pesantern .bahkan mereka meniru cara berpakaiannya,pola hidupnya sehingga mereka jadi gengsi berpakaian islami.tingkah lagu ,moral dan gaya bicara yang sudah berbeda .
BANYAK SANTRI YANG MENCARI CARI JATI DIRINYA....???"mau jadi apa aqw kelak!!padahal jati diri tersebut tak pelu di cari lagi,semua udah nampak di depan mata kita ketika kita masuk ke pesanren jelas bahwa jati diri kita itu adalah santri .+santri yang akan menerusakan pejuangan islam di masa akan datang ,
sebagai contoh ketika kita menbuat kue lalu kue itu kita bentuk dengan bentuk bentuk yang berbeda ada yang bentuknya kotak atau bundar maka setelah kue di buat dengan cetakan nya maka ketika kue itu di keluarkan kue tersebut akan keluar sesuai denagn cetakannya nay yang tadinya di cetak bundar maka akan keluar dengan bundar
ada banyak guru guru yang berkata "santri zaman sekarang udah berbeda denagn santri zaman dulu zaman sekarang santri pada males kerjaan nay hanya bisa ngbisin uang ,pecanda dan bermain saja,padahal kalau kita renungkan lagipendapat tersebut bukanya santri zaman sekarang yang berbedamelainkan sikap pola asuh guru yang salah!!
sebagi contoh :zaman dulu ketika seorang santri melakukan kesalahan sedikitpun para ustadnya lansung menegu\rnya.tp kita liat kenyataan hari ini ketika kemaksitan kemalasan yang dilakukan santri di depan mata para ustad atau guru ,guru guru hanya terdaiam saja seolah lah meraka tak tau.
rekaman hari ini
Dalam sejarahnya, budaya pesantren itu mampu mengejawantah dalam realitas masyarakat. Pesantren, setidaknya, berhasil menyumbang tatanan nilai dan moral-etik yang kemudian dipegang masyarakat.
Besarnya peran pesantren dalam membentuk tatanan budaya masyarakat memosisikannya sebagai basis segala aktivitas. Segala hal yang berkaitan dengan aspek agama, sosial, pendidikan, bahkan ekonomi dan politik bertumpu pada pesantren.
Sumbangan pesantren yang begitu besar membuat masyarakat menyerahkan sebagian besar kepercayaannya pada pesantren. Tokoh pesantren—kiai, ustaz, santri—adalah tumpuan masyarakat atas berbagai masalah keseharian yang dihadapi.
Masalahnya, kepercayaan masyarakat pada pesantren kini mulai terkikis. Salah satunya disebabkan pesantren tak lagi berada pada relnya. Beberapa kalangan mencurigai pesantren “lalai” dalam tugasnya sebagai “gawang” Islam Indonesia. Kritik ini, tampaknya, berangkat dari kenyataan; banyak tokoh pesantren yang terlalu asyik di wilayah politik, `bermain mata’ dengan kekuasaan, dan dekadensi budaya dan moral santrinya.
Kecolongan
Yang terakhir disebut, menarik untuk diteropong lebih dalam. Tak dipungkiri, budaya santri kian merosot. Hal itu tampak dari perilaku dan kebiasaan santri yang nyaris tercerabut dari akar keber-Islam-annya.
Tampaknya, masalah dekadensi budaya kini menyeruak ke setiap sudut kehidupan. Fenomena semaraknya perilaku yang mengarah pada budaya Barat: amoral, niretik, hedonis, konsumtif, dan bertolak belakang dengan religiusitas, kini mudah ditemukan.
Sebagai basis “pertahanan” Islam, masuknya budaya yang dekaden—bisa saja—menunjukkan kekeroposan pesantren. Tampaknya, pesantren kini kesulitan membendung penjajahan budaya. Kesulitan itulah yang acapkali membuat pesantren “kecolongan” .
Bolongnya gerbang pesantren mendorong ekspansi besar-besaran budaya luar masuk ke pesantren. Berbagai ideologi terbungkus kemasan modernitas dan teknologi diterima dengan tangan terbuka oleh santri nyaris tanpa filter. Westernitas atau kebarat-baratan berkedok lokalitas kerapkali membuat santri kegandrungan pada konsumerisme budaya yang berlebihan. Budaya dan etika nonreligius ditelan mentah- mentah. Tak sulit menemukan fenomena dekadensi budaya yang demikian itu.
Secara kasat mata, kita bisa melihat budaya, semisal, perayaan Hari Valentin, tahun baru, atau ulang tahun dengan cara-cara yang nyaris persis anak-anak kota. Dalam hal berpakaian, tak sedikit santri latah ikut-ikutan gaya yang sedang tren di kalangan selebritas. Dalam hal makanan, menanak (baca: atana’) dianggap “nggak gaul” dan merepotkan. Padahal, yang disebut terakhir juga termasuk aktivitas kependidikan dan pembelajaran kemandirian.
Santri, secara tidak sadar, kini dihinggapi budaya instan, konsumtif, dan hedonis. Instan lantaran terbiasa dengan “kemudahan”, segalanya didapat dengan mudah dan tanpa melalui proses yang teliti. Konsumtif akibat pudarnya daya kritisisme santri sekaligus lantaran dihadapkan pada dagangan produk kapitalis yang menggiurkan. Hedonis lantaran ada kecenderungan perilaku diarahkan untuk melulu menggali sebuah kesenangan semu—kira-kira demikian.
Dua hal di atas yang memengaruhi pola pikir, paradigma, kemudian perilaku santri. Pantas, andai moralitas dan budaya santri kian dekaden—seperti yang dituduhkan beberapa kalangan.
Membangun “Benteng” Sajian budaya luar tak identik vitamin yang selalu “sehat” bagi santri. Budaya luar yang kian menggerogoti religiusitas santri mesti diantisipasi. Jika dibiarkan, masalah dekadensi budaya akan semakin berlarut-larut. Akibatnya, tidak hanya akan dirasakan oleh santri (baca: pesantren) tetapi juga masyarakat secara umum.
Perilaku tercela santri tentunya berangkat dari pola pikir dan paradigma yang keliru pula. Seperti yang disinggung di atas, mudahnya budaya luar masuk pesantren ialah akibat nihilnya daya kritisisme santri.
Guna membendung arus budaya, sebuah “benteng” perlu segera dibangun. Benteng yang dengannya, religiusitas budaya terus dipertahankan. Tentunya tak lantas menolak sepenuhnya segala budaya yang masuk selama tidak bertolak belakang dengan nilai-nilai Islam dan pesantren.
Benteng yang dimaksud bukan dalam arti yang literal. Benteng yang dimaksud ialah sebuah pertahanan (budaya) yang terejawantah dalam kebiasaan santri bersikap kritis. Dengan begitu, budaya luar tidak mudah memengaruhi santri.
Masivitas masuknya arus budaya luar menuntut kejelian, kekritisan, dan sikap arif dalam menyikapinya. Globalisasi, melalui `tangan’ dan `jari-jarinya’ , menggiring santri atau pesantren pada posisi dilematis; mempertahankan budaya atau mengikuti arus budaya. Sementara, sikap tengah-tangah acapkali bias, absurd, tampak tanpa identitas.
Apa pun yang “menimpa” santri (baca: pesantren) tak mengikis harapan besar masyarakat pada santri sebagai agen perubahan dan pembaharuan. Sampai detik ini, peran santri (juga pesantren) masih besar dan gaungnya terdengar di segala ranah kehidupan masyarakat—dari mulai agama, pendidikan, budaya, bahkan politik. Karena itu, butuh komitmen dan konsistensi santri untuk menjaga pesantren (secara kelembagaan) dan diri santri (secara pribadi) itu sendiri. Tanpa sikap demikian, santri (pesantren) akan tergerus kecenderungan dekadensi budaya global dan menjadi korban peradaban.
Kemajuan teknologi di dunia semakin tak terbendung, apalagi setelah meletusnya milenium II yang diprediksi sebagai tolak ukur memuncaknya perkembangan di segala bidang.
Bersamaan itu pula manusia semakin tenggelam larut dalam cairan kumuh modernisasi, dari segi luar maupun dalamnya. Semua berlomba-lomba menonjolkan hal-hal yang seharusnya tidak perlu, begitu pula sesuatu yang mestinya tersimpan rapat. Misalnya saja dalam berpakaian, semakin mini akan dibilang “Oke” karena semakin seksi. Walau kadang si pemakai sendiri risih dengan apa yang ia pakai. Namun apa boleh buat mereka berasumsi bahwa itu adalah tuntutan zaman. Dan yang tak kalah lagi dalam gaya bicara, kahalusan serta irama etis semakin hengkang dari lisan. Kesantunan adalah etika usang, semua sekarang serba “gaul” meski tak mengerti apa makna dari kata gaul itu sendiri.
Realita diatas tak hanya terjadi di perkotaan tapi telah mempropaganda di daerah pedesaan yang pelosok sekalipun. Dahulu mengaji adalah kegiatan rutin dan setelah kerasukan arwah “gaul“, maka mereka akan berkata, “Apaan tuh ngaji?, sudah lupa tuh, itu kan kerjaan anak kecil”. Sebegitu parahnya bahkan telah merambah dunia pendidikan (education field), salah satu sarana pencapaian masa depan yang prospektif. Akan tetapi dianggap tak menjadi soal sebab sekarang sudah menjadi tradisi kontemporer. Takut dibilang kuper dan terisolasi apabila tidak ikut nimbrung.
Menjadi topik hangat yang perlu menjadi sorotan serta penanganan intensif jika hal tersebut (Modernisasi & sok gaul) telah merasuki dinamika pesantren yang notabene telah diikrarkan sebagai lembaga keagamaan yang bertujuan mempersiapkan kader-kader muslim yang bertaqwa, berakhlak dan dinamis serta berupaya mengembangkan intelektual para santrinya. Bagaimana jadinya jika generasi islam telah masuk dalam lobang pergaulan bebas? Jika air telah tercampur tinta masih tetap putihkah air itu?
Contoh kecil yang lazim terjadi merupakan salah satu korban modernisasi adalah persahabatan (friendship). Kalau sudah dianggap teman (friend) boleh bercengkrama layaknya muhrim sendiri (antara pria dan wanita). Jika ditanya, “Siapa dia? dengan enteng akan dijawab: “Temenku.” selesai sudah urusannya. Memang seperti itu budaya lingkungan kita, namun apakah sudah “seluwes” itukah norma agama dalam berkompromi?, Semudah itu seseorang kehilangan sebuah identitas yang seharusnya menjadi penopang harga diri. Tidak akan ada yang menyalahkan sebuah persahabatan sebagai salah satu bentuk kekeluargaan dan ukhuwah tapi di satu sisi harus memandang prediket yang disandang.
“Lain ladang lain belalang” ungkapan itu mungkin sesuai sebagai relevansi fenomena yang terjadi sekarang. Saat berada dalam komunitas pesantren adalah santri dan jika berada di luar perubahan mulai tampak, mereka cenderung mengikuti arus yang ada di hadapannya tanpa memakai stabilitas. Mereka rela terombang ambing oleh keadaan dan pergaulan.
Gaul merupakan istilah dengan persepsi yang relatif, tergantung bagaimana hal itu diaplikasikan. Santri juga harus gaul, tetapi kita harus bisa menerapkan sesuai perspektif kesantrian (Gaul ala santri). Jadilah diri sendiri (Berkepribadian). Bahwa aku adalah aku bukan orang lain. Berbagai cara mengekspresikan kepribadiaannya, berbeda pula dalam mengolah identitasnya karena itu privasi masing-masing. Kemanapun, dimanapun, dalam sebuah pergaulan tidak boleh dilepas, jiwa dan hati kita sebagai santri.
Untuk bisa mengaktualisasikan semua itu tidaklah mudah, harus ada usaha yang timbul karena adanya niat dari hati yang tulus. Keterbukaan hati harus melalui proses perenungan (tafakkur) yang akan mengantar kita ke ruang bifurkasi matang, Jauh dari sesal di ujung penyelesaian. Akhir sebuah masalah yang diawali kecerobohan dan ketidakpastian.
Salam hangat
Akbar Abrary
Berikan Komentarmu :)
Posting Komentar